Senin, 24 Juni 2013

Surau, Meunasah Dan Pesantren


Karakteristik dan Dinamika Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara
Surau, Meunasah dan Pesantren
A. Pendahuluan
Membicarakan wacana kelembagaan pendidikan Islam di Nusantara khususnya di Minangkabau pada masa awal, merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji. Hal ini setidaknya disebabkan oleh empat faktor, yaitu : Pertama, lembaga pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses terjadinya transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial. Dalam lintas sejarah, kehadiran lembaga pendidikan Islam telah memberikan andil yang sangat besar bagi pengembangan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kedua, pelacakan eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari proses masuknya Islam di Indonesia dan mengalami akulturasi budaya lokal (adat). Ketiga, kemunculan lembaga pendidikan Islam dalam sebuah komuntas, tidak mengalami ruang hampa, akan tetapi senantiasa dinamis, baik dari fungsi dan sistem pembelajarannya. Keempat, kehadiran lembaga pendidikan Islam, telah memberikan spektrum tersendiri dalam membuka wawasan dan dinamika intelektual umat Islam.[1]
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh adanya lembaga lembaga pendidikan Islam yang amat bervariasi, namun antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan subtansial dan fungsional. Dinamika pertumbuhan dan perkembangan lembaga lembaga pendidikan Islam tersebut selain dipengaruhi oleh faktor internal dari para pendirinya, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal yang bersifat global. Kedua pengaruh ini satu dan yang lainnya secara akumulatif berpadu menjadi satu dan menghasilkan bentuk dan corak dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya.[2]
Perkembangan lembaga lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensif. Kini sudah banyak hasil penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga lembaga pendidikan Islam tersebut.
Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi. Dengan cara demikian upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara radikal.
Lembaga pendidikan tersebut merupakan salah satu sistem yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan secara berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Adanya kelembagaan dalam masyarakat, dalam rangka proses pembudayaan umat, merupakan tugas dan tanggung jawabnya yang kultural dan edukatif terhadap masyarakatnya yang semakin berat. Tanggung jawab lembaga pendidikan tersebut dalam segala jenisnya menurut pandangan Islam adalah erat kaitannya dengan usaha menyukseskan misi sebagai seorang muslim.
Lembaga pendidikan Islam merupakan hasil pemikiran yang dicetuskan oleh kebutuhan kebutuhan masyarakat yang didasari, digerakkan, dan dikembangkan oleh jiwa Islam (Al-Qur’an dan Sunnah).Lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan Islam secara umum. Islam telah mengenal lembaga pendidikan sejak detik detik awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.Rumah Al Arqam ibn Abi Al Arqam merupakan lembaga pendidikan pertama. Guru agung yang pertama adalah Nabi Muhammad Saw dengan sekumpulan kecil pengikut pengikutnya yang percaya kepadanya secara diam diam. Dan di rumah itulah Nabi mengajarkan Al Qur’an. [3]
Lembaga pendidikan Islam bukanlah lembaga beku, tetapi feksibel, berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat.Hal ini seiring dengan luasnya daerah Islam yang membawa dampak pada pertambahan jumlah penduduk Islam. Dan dengan adanya keinginan untuk memperoleh aktifitas belajar yang memadai. Sejalan dengan makin berkembangnya pemikiran tentang pendidikan, maka didirikanlah berbagai macam lembaga pendidikan Islam mulai dari bentuk tradisional maupun dalam bentuk yang sudah modern. Untuk itu tulisan ini mencoba melacak akar pertumbuhan dan perkembangan dari lembaga pendidikan Surau, meunasah, pesantren dan madrasah dan mengungkap eksistensi, peranan, dan dinamika lembaga-lembaga pendidikan tersebut di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Surau
a. Awal Pertumbuhan Surau
Di Minangkabau, keberadaan lembaga pendidikan Islam sejak masa awal telah mendapat perhatian yang cukup besar. Pada masa ini, surau merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat strategis. Eksistensi surau memiliki fungsi ganda, yaitu di samping sebagai tempat ibadah, pendidikan serta tempat berkumpulnya anak laki laki. Fenomena ini telah ikut memperlancar terjadinya proses pendidikan Islam secara efektif.
Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaannya meluas sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu-Budha.[4]
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M. yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak Upaya pelacakan surau sebagai lembaga pendidikan Islam awal di Minangkabau, seringkali terlupakan. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang wacana ini dan keterbatasan pengetahuan umat Islam dalam memahami surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Secara umum, surau hanya dipandang sebagai tempat ibadah (sholat). Hanya saja, untuk kasus Minangkabau, surau mengalami pelebaran fungsi, baik sebagai tempat ibadah, tarekat (suluk), pendidikan, dan bahkan tempat berkumpul anak laki laki setelah mereka baliqh. Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran ajaran Islam. Bahkan, lembaga ini telah mampu pula mencetak para ulama ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan rasa masionalisme umat Islam, terutama dalam upaya mengusir kolonial Belanda.
Istilah Surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki laki yang sudah balig dan orang tua yang sudah uzur.[5]  Fungsi surau ini semakin kuat karena dalam stuktur masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal,[6] menurut ketentuan adat bahwa laki laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis lainnya.
Tatkala Islam masuk,[7] kehadiran surau pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin sebagai tempat melaksanakan sholat dan pendidikan tarekat (suluk), dengan cepat bisa tersosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Posisi surau kemudian mengalami perkembangan. Selain fungsinya di atas, surau juga menjadi tempat berkumpulnya anak laki laki yang telah baligh dan persinggahan bagi perantau.[8]
Dalam perkembangannya, eksistensi surau merupakan lembaga yang sangat strategis bagi penyiaran agama Islam.Bahkan banyak informasi yang diperoleh para pemuda Minangkabau melalui interaksi mereka dengan perantau yang singgah di surau.[9]  Di sini terlihat bagaimana sesungguhnya surau era awal, telah berperan multi fungsional, baik dalam wacana keilmuan maupun keagamaan.
b. Surau sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Minangkabau
Sebagai sebuah proses permulaan atau pembentukan, sistem surau ini dilakukan dengan memberikan contoh dan suri tauladan. Mereka diajari bagaimana berlaku sopan-santun, ramah-tamah, tulus ikhlas, amanah, dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama Islam[10]
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah.[11] Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu :
1.  Pengajaran Al Qur’an.
Untuk mempelajari Al-Qur’an, ada dua macam tingkatan.
a. Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Qur’an. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudlu dan tata cara sholat yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal, keimanan -terutama sifat dua puluh- dengan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang nabi dan orang orang shaleh lainnya.
b. Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid, dan kitab Perukunan. Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tammat bila ia telah mampu menguasai materi materi di atas dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan Al-Qur;an sebanyak dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian Al-Qur’an.[12]
2. Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahu, ilmu fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya.Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah aspek hafalan.Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara menghafalkan materi dengan lagu lagu tertentu.Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang ini biasanya dilakukan pada siang dan malam hari.[13]
Pada masa awal, kitab yang dipelajari pada masing masing materi pendidikan masih mengacu pada satu kitab tertentu. Setelah ulama Minangkabau yang belajar di Timur Tengah kembali ke tanah air, sumber yang digunakan mulai mengalami perg seseran. Kitab yang digunakan pada setiap materi pendidikan sudah bermacam macam.[14]
Hal ini menurut hemat penulis adalah wajar. Sebab, untuk mendapatkan suatu kitab pada masa awal, bukan merupakan hal yang mudah. Akan tetapi setelah melakukan kontak langsung dengan Timur Tengah, semakin mudah bagi mereka (ulama) untuk memperoleh sumber sumber (kitab) baru lainnya. Pada era ini telah ada upaya untuk melahirkan seorang guru agama. Siswa siswa yang telah menamatkan pelajaran ilmu fiqh dan tafsir, kemudian diangkat sebagai guru bantu surau untuk beberapa waktu lamanya.
Apabila guru bantu surau telah dianggap mampu, baik dalam penguasaan materi maupun memecahkan persoalan dalam sebuah kitab, maka ia kemudian diangkat menjadi guru muda (engku muda), kemudian lebai, dan kemudian Syekh. Disini ia baru memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu ilmu agama pada murid-muridnya. Proses ini berlangsung cukup lama. Setelah memiliki otoritas penuh, barulah ia pulang ke kampungnya untuk mendirikan surau baru sebagai tempat melaksanakan pendidikan dan penyebaran agama Islam.[15]
Jika dianalisa, bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Pertama, kelebihannya adalah pola kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Kedua lemahnya kemampuan memahami dan daya analisa kritis siswa terhadap teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalkannya itu. Hal ini diakui oleh Hamka sebagai suatu kelemahan sistem pendidikan Islam Minangkabau waktu itu.[16]
Adapun surau memakai sistem kelas pertama kalinya ialah Sumatera Thawalib Pandang Panjang dibawah pimpinan Syekh Abd Karim Amarullah pada tahun 1921. Karena ulama menyadari bahwa sistem pendidikan surau tidak sesuai dengan iklim Indonesia dan jumlah murid belajar, dari hari ke hari, semakin bertambah.[17]
Dalam catatan Abdurrahman Al-Nahlawi, seperti dikatakan oleh Hasbullah, bahwa pendidikan masjid atau surau memiliki implikasi moral terhadap pembentukan sikap umat. Di antaranya:
1.    Mendidik anak untuk beribadah kepada Allah Swt.
2.    Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial, dan warga negara.
3.    Memberi rasa ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi ruhani manusia melalui pendidikan kesabaran, keberanian, perenungan optimisme dan pengadaan penelitian.[18]
c. Surau sebagai Lembaga Pendidikan Tarekat.
Tumbuhnya surau sebagai lembaga pendidikan agama dan tarekat (suluk) terus berkembang dengan pesat. Setiap ulama Minangkabau, memiliki surau sendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebih dari itu menunjukkan bentuk tarekat yang dianut oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau.[19] Bahkan pada era ini, fungsi surau terkadang lebih dominan sebagai tempat praktek tarekat, ketimbang sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritas tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu ilmu keIslaman.
Meskipun setiap ulama memiliki otoritas sendiri dalam mengembangkan aliran tarekat di suraunya, akan tetapi perkembangan tarekat tarekat di Minangkabau, memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari penekanan pada hal hal yang bersifat esoterik dan lebih dominan ketimbang syari’ah. Pendekatan ini di samping memiliki kelebihan, juga memiliki kelemahan. Khusus kasus Minangkabau, pelaksanaan pendekatan tarekat yang demikian itu telah mengakibatkan umat Islam kurang memahami syari’at Islam. Fenomena ini dapat dilihat dari masih berkembangnya praktek praktek sinkretis terhadap kepercayaan pra Islam. Untuk itu, tidak heran jika masih berkembangnya praktek praktek adat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Melihat kondisi masyarakat yang demikian, maka Syekh Abdurrahman, salah seorang Ulama dari Batu Hampar, berupaya menyadarkan umat dengan pendekatan persuasif, yaitu melalui pemuka adat yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi adat. Metode ini sangat efektif dan bisa diterima dengan baik oleh para pemuka adat. Bahkan bersama sama dengan para ulama, pemuka adat mengajak masyarakat untuk meninggalkan praktek adat yang bercampur khurafat dan bid’ah.[20] Dengan keberhasilan itu banyak masyarakat yang ingin mempelajari agama. Untuk itu Syekh Abdurrahman mendirikan surau, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai lembaga pendidikan Islam.
Di suraunya ini, Syekh Abdurrahman mengajarkan agama dan membaca Al-Qur’an. Melalui bacaan yang baik telah menjadi daya tarik tersendiri. Maka ramailah umat Islam yang belajar dengannya. Keterkaitan umat Islam untuk belajar bukan saja dari Minangkabau, akan tetapi juga dari wilayah lainnya, seperti Jambi, Palembang, Bangka, dan wilayah lainnya.[21]
Namun demikian, pada sebagian wilayah, eksistensi adat yang bercampur dengan khurafat dan bid’ah, masih tetap mengkristal dalam kehidupan umat Islam. Masyarakat Agam umpamanya, memiliki adat sinkretis yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti mencuri, merampok, minum arak, berjudi (khususnya menyabung ayam). Dengan penuh kesabaran para ulama Minangkabau mengajak mereka untuk memeluk agama Islam, melalui pendekatan pemuka adat. Upaya ini akhirnya berhasil walaupun menemui berbagai kesulitan. Akan tetapi sikap hidup dan praktek adat yang telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, sulit untuk dihapus.
Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran ajaran Islam. Bahkan lembaga ini telah mampu pula mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan rasa nasionalisme umat Islam terutama dalam upaya mengusir kolonial Belanda. Melalui pendidikan tradisionalnya Minangkabau telah melahirkan sejumlah ulama besar yang menghiasi sejarah umat Islam Indonesia, seperti Haji Rasul, AR.St.Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka.
2. Meunasah
Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampong, desa). Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan diskusi dan membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Disamping itu, ia juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga menjadi tempat sholat bagi masyarakat dalam satu ‘gampong’.[22]
Meunasah, secara fisik adalah bangunan rumah panggung yang dibuat pada setiap kampung, setiap kampung terdiri dari 40 rumah dan diketuai oleh keucik. Dalam meunasah terdapat sumur, bak air, dan wc yang terletak berjarak dengan meunasah. Biasanya meunasah terletak dipinggir jalan.
Dalam perkembangan selanjutnya meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah saja , melainkan juga tempat pendidikan , tempat pertemuan, bahkan juga tempat transaksi jual beli barang tak bergerak, kemudian juga sebagai tempat menginap para musafir, tempat membaca hikayat dan tempat mendamaikan jika ada warga kampong yang bertikai.[23] Bahkan menurut Gazalba meunasah juga digunakan sebagai tempat berzikir, berdoa dan tempat praktik tarekat yang kemudian disebut suluk.
Meunasah sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga pendidikan terendah dan meunasah dipimpin oleh Tengku Meunasah, sedangkan untuk anak murid perempuan diajar oleh teungku perempuan yang disebut teungku inong.
Diantara fungsi meunasah itu adalah
a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat pengeluarannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu.
b. Sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca Al-Qur’an. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian pada hari jum’at dipakai ibu ibu untuk sholat berjama’ah zuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan.[24]
Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Pengajaran umumnya berlangsung pada malam hari. Materi pelajaran dimulai dengan membaca Al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuet Qur’an. Biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf hijaiyah, seperti yang terdapat dalam buku Qaidah Baqhdadiyah, dengan metode mengeja huruf, kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz amma, sambil menghafalkan surat surat pendek. Setelah itu baru ditingkatkan kepada membaca Al-Qur’an besar dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu diajarkan pula pokok pokok agama seperti rukun iman, rukun Islam dan sifat sifat Allah. Selain itu juga diajarkan rukun sholat, rukun puasa serta zakat. Tak ketinggalan, pelajaran menyanyi juga diajarkan, terutama nyanyian yang berhubungan dengan agama yang dalam bahasa Aceh disebut dike atau seulaweut (zikir atau sholawat). Buku buku pelajaran yang digunakan adalah buku buku yang berbahasa Melayu seperti kitab parukunan dan Risalah Masail al Muhtadin.[25]
Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para Tengku tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun biasanya Tengku mendapatkan hadiah dari murid muridnya apabila mereka telah belajar Al-Qur’an sampai juz ke-15 atau pada saat khattam Al-Qur’an. Hadiah hadiah lain juga diperoleh pada waktu upacara upacara akad nikah, sunat, pembagian harta warisan, perkara perdata, menghadiri sidang sidang pengadilan, pemberian nasehat nasehat dan juga dari zakat.
Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.
3. Pesantren
a. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren
Pesantren dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek para sarjana barat mempelajari Islam. Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, dan ada juga yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti orang orang yang tahu buku buku suci, buku agama, atau buku buku tentang ilmu pengetahuan.[26] Jadi istilah pesantren itu masuk ke Indonesia bersamaan masuk dan berkembangnya agama Hindu, sebelum datangnya Islam.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sekurang kurangnya mempunyai tiga ciri umum yaitu kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat kegiatan, adanya pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui sistem pengajian kitab dengan metode wetonan, sorogan, dan musyawarah, yang sebagian sekarang telah berkembang dengan sistem klasikal atau madrasah.
Tokoh-tokoh Islam Indonesia yang mendirikan pesantren merupakan Alumni-alumni dari Mekkah . Mereka bersamaan naik haji dan tinggal beberapa tahun untuk belajar mendalami ilmu agama setelah tamat mereka kembali ke Indonesia membawa warna baru bagi pendidikan Islam . Tokoh tersebutlah yang mendirikan pesantren seperti pesantren Tebuireng yang dirikan oleh KH. Hasyim ‘Asy’ari, pesantren Al-Mushatafiyah Purba baru Tapanuli selatan yang dirikan oleh Syaik Mustafa Husein tahun 1913.[27]
Adapun ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan yang kharismatik dan suasana keagamaan yang mendalam.[28] Marwan Sarijo juga mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan dan wetonan. Para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi kriteria pendidikan non formal dan menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kebutuhan masyarakat.[29]
Sedangkan menurut K.H.Ali Maksum bahwa pesantren merupakan asrama tempat tinggal para kyai beserta keluarga dengan santri yang mengaji di tempat yang disediakan. Pengajian di sini berbahasa Arab, baik karangan karangan lama ataupun buah karya pengarang baru.[30] Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai misi sangat luas dan kompleks, yang terutama dan paling mendasar adalah pemahaman terhadap agama dan dakwah Islamiyah.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnyapun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang asli atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.[31]
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi.[32] Dengan kondisi demikian itu, kata Azzumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai belahan dunia, tidak banyak lembaga lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau sekuler.[33] Nilai nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain.
Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.Sejarah masuknya agama Islam di Indonesia adalah karena penyebaran Agama Islam oleh mubalig mubalig pertama dengan penerangan dan amalan serta melalui pendidikan berbentuk pondok pesantren. Kemudian mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan pertama yang dikenal oleh umat Islam di Indonesia.[34]
b. Sejarah perkembangan pesantren
1.    Pesantren periode pra abad-19
Menurut riwayat yang pertama kali mengadakan ‘ pondok pesantren” bukan dalam arti sesungguhnya sebagai tempat bagi santri untuk memperdalam ilmu agama, adalah Maulana Malik Ibrahim atau sunan Gresik ( w. 1419 M ). Yang dirikan di Jawa[35]
Pada tahun 1475 diterangkan pula bahwa Raden Fattah telah mendirikan di hutan Glagah Arum, yang diupayakan untuk mendidik para da’I dalam propaganda islam . perkembangan pesantren terus melaju hingga berdirinya kerajaan Demak, pelajaran yang diberikan umumnya pelajaran Islam tingkat dasar, kitab yang dipergunakan dinamakan prombon, juga memuat ilmu agama dasar, doa, pertabiban dan ilmu ghaib. Primbon tersebut biasa terlarang bagi yang tidak berhak menjadi murid. Pelajaran agama saat masih sangat sederhana. Hal ini berlangsung hingga menjelang abad ke-19.[36]
Survai belanda pertama terhadap pendidikan asli tahun 1819, bahkan memberi kesan bahwa pesantren yang betul memang belum ada saat itu di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada mirip pesantren ( pengajian al-Qur’an), tersebar di priangan, Pekalongan, Rembang, Kedua, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo, di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan yang didirikan di rumah pribadi atau masjid. Demikian juga di kalimantan, Sulawesi dan lombok, belum terdapat pesantren sebelum abad ke-20, pendidikan Islam hanya dilakukan secara informal di masjid atau dirumah para kyai. Bagi yang memiliki minat keilmuan tinggi biasanya langsung menuju Jawa atau Mekkah untuk menimbah Ilmu.[37]
2.    Pesantren abad ke-19
Memasuki abad ke-19 baru terdapat pesantren yang benar-benar diakui secara luas sebagai pesantren. Pesantren pada masa ini masih terkenal adalah : 1) pesantren Tebuireng yang didirikan 26 Rabi’ul awal tahun 1899 M. oleh KH. Hasyim Asy’ari, 2) Pondok pesantren Tambak Beras Jombang, didirikan oleh kyai Hasbullah, 3) pesantren Redjoso, Peterongan, Jombang didirikan oleh KH.Tamin pada tahun 1919, kemudian diteruskan oleh KH. Ramli Tamin dan juga KH. Mustami’an Ramli. 4) Pondok pesantren Modern Gontot Ponorogo oleh KH ImamZarkasyi pada tahun1926M.[38]
Pondok pesantren dalam perkembangannya telah banyak memberikan sumbangan bagi Indonesia, bahkan beberapa cendikiawan besar, ulama besar dan bahkan birokrat banyak yang berasal dari pondok ini.
Selain di Jawa, pondok pesantren pada abad ke-19 dan juga abad ke-20 telah tersebar di seluruh Indonesia, dapat dikatakan teersebar hampir keseluruh penjuru nusantra, Jambi misalnya memiliki pesantren Nurul Iman, walaupun dikatakan Madrasah namun menggunakan system pesantren yang diperbaharui.
c. Unsur unsur Pesantren
Tegak berdirinya sebuah pesantren sekurang kurangnya harus didukung oleh lima unsur atau elemen yaitu adanya pondok, masjid, pengajaran kitab kitab klasik, santri, dan kyai.[39] Jika dilihat dari proses munculnya atau lahirnya sebuah pesantren, maka kelima elemen itu adalah kyai, masjid, santri, pondok, dan pengajaran kitab kitab klasik. Kyai sebagai cikal bakal berdirinya pesantren, biasanya tinggal disebuah pemukiman baru yang cukup luas.
Karena terpanggil untuk berdakwah maka kyai mendirikan masjid yang terkadang bermula dari musholla. Jamaah semakin ramai dan yang tempat tinggalnya jauh ingin menetap bersama kyai, mereka itu disebut santri. Jika mereka yang bermukim disitu jumlahnya banyak, maka perlu dibangunkan pondok atau asrama agar tidak mengganggu ketenangan masjid serta keluarga kyai. Dengan mengambil tempat di masjid, kyai mengajar santrinya dengan materi materi kitab Islam klasik.
Dalam penyelengaraan pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren yang sekarang ini, paling tidak dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu:
1.      Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam, yang pada umumnya dngan cara non klasikal atau sistem bandungan atau sorogan.
2.      Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren diatas, tetapi santrinya tidak disediakan pondokan di komplek pesantren namun tinggal di sekeliling desa tempat pesantren berada. Dimana sistem pendidikan dan pengajaran yang diberikan dengan sistem weton yaitu para santri datang dengan berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
3.      Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama dengan sistem bandungan, sorogan, wetonan dengan disediakan pondokan atau merupakan santri kalong (santri yang tidak menetap di pondok, melainkan menetap dirumahhnya masing-masing santri) yang dalam istilah pendididkan pondok pesantren modern memenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum.
c. Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab kitab bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadist dengan musthalah hadist, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasauf.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah :
1. Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan sholat fardu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera disebut dengan halaqah.
2. Sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri/ kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
3. Hafalan, yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.[40]
d. Jenjang Pendidikan dan Fungsi Pesantren
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi dan non formal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tam yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jamaah.
Disamping fungsi di atas, pesantren juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam merespons ekspansi politik imprialis Belanda dalam bentuk menolak segala sesuatu yang “berbau” barat dengan menutup diri dan menaruh sikap curiga terhadap unsur-unsur asing. Dan lebih dari itu, pesantren sebagai tempat mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dan tanah air.
e. Kehidupan kiai dan santri
Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetao (bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim ditempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat disekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.
Eksistensi kiai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani, dipatuhi dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kiai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamkhsyari Dhofier, “kiai memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam Tegasnya., kiai adalah tempat bertanya atau sumber refrensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa.
Berikut ini dipaparkan berapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut.
1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya
2) Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
3) Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4) Kemandirian
5) Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6) Kedisiplinan
7) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan
8) Pemberian ijazah         
Perlu dicatat bahwa ciri-ciri diatas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian besar pesantren. Maka pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda.
Dilihat dari proses transformasi tersebut, sekurang-kurangnya pesantren dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya pesantren corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keislaman. Kedua, pesantren tradisonal, corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen, tetapi tidak sepenuhnya.
Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara moderen meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni pesantren corak ini cendrung melanjutkan pendidikannya kesekolah atau perguruan tinggi formal. Ketiga, pesantren moderen. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaanya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem moderen. Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proposional. Sistem pengajaran dapat dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (Bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan.
Perbandingan pendidikan Islam menurut sistim lama dengan pendidikan Islam pada masa perubahan[41]
Sistem lama
Masa perubahan
1.   pelajaran ilmu-ilmu itu diajarkan satu demi Satu
2.   Pelajaran ilmu sharaf didahulukan dari ilmu nahwu
3.   Buku pelajaran yang mula-mula dikarang oleh ulama Indonesia serta terjemahkan dengan bahasa Melayu.
4.   kitab-kitab itu umumnya tulis tangan
5.   Pelajaran suatu ilmu, hanya dikerjarakan dalam satu macam kitab saja.
6.   Toko kitab belum ada, hanya ada orang pandai menyalin kitab dengan tulisan tangan.
7.   Ilmu agama sedikit sekali, karena sedikit bacaan.
8.   Belum lahir aliran baru dalam Islam.
1.    Pelajaran ilmu-ilmu itu dihimpun 2 sampai 6 ilmu sekaligus.
2.    Pelajaran ilmu Nahwu di dahulukan / disamakan dengan ilmu sharaf.
3.    Buku Pelajaran semuanya karangan ulama Islam dahulu kala dan dalam bahasa Arab.
4.    kitab-kitab itu semuanya dicetak ( dicap).
5.    Pelajaran suatu ilmu di ajarkan dalam beberapa macam kitab : rendah, menengah dan tinggi.
6.    Toko kitab telah ada yang memesan kitab-kitab ke Mesir / Mekkah.
7.    Ilmu agama telah luas berkembang, karena telah banyak kitab bacaan.
8.    Mulai lahir aliran baru dalam Islam yang bawa oleh majalah Al-Manar di Mesir.

C. Penutup
Surau bagi masyarakat Minangkabau memiliki multifungsi. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul, rapat, tempat tidur tetapi juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang terbuka artinya masyarakat yang tidak menutup diri untuk menerima perubahan. Sehingga pada akhirnya perubahan yang terjadi menjadi sebuah ancaman bagi kelangsungan institusi surau sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Tetapi dibalik itu, surau telah mampu melahirkan ulama ulama besar yang disegani baik di Minangkabau maupun di luar Minangkabau bahkan internasional.
Meunasah merupakan lembaga pendidikan tingkat rendah yang ada di Aceh. Fungsinya hampir sama dengan surau yang ada di Minangkabau. Sebagai lembaga pendidikan Islam tingkat rendah, materi pelajaran yang diberikanpun masih seputar pengetahuan tentang bagaimana cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar, kemudian baru diberikan pengetahuan tentang keimanan, akhlak dan ibadah. Lama pendidikannyapun tidak ditentukan berkisar antara dua sampai sepuluh tahun, tidak dipungut bayaran, lembaga pendidikan ini telah mampu mencetak masyarakat Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang di pulau Jawa dan sampai sekarang tetap survive. Untuk bisa dikatakan sebuah pesantren sekurang kurangnya harus memiliki Kyai, santri, masjid, dan pemondokan (asrama).




























DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun Modern, Jakarta ; Pustaka LP3ES, 1994, Cet. Ke 2.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004
Azyurmadi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos 1990.
Disarikan dari Cliford Geetz, The Religion of Java, ( Ter), Aswab Mahasin, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Jakarta : Kerja sama Yayasan ilmu-ilmu social dan Dunia Pustaka Jaya. 1983, Cet. Ke-3
Hasbullah, 1999. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan, Jakarta : lembaga studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995, Cet. Ke-1
Ka`bah, Rifyal, dkk., 1988. Pendidikan Islam di Indonesia. Kairo: Kedutaan Besar RI Pendidikan dan Kebudayaan
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta : LP3ES
Mammud Junus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Mahmudah, 1960
Martin van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning ; Pemelihara dan Kesinambungan Tradisi Pesantren, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol III, No. 4 Th. 1992.
Muhammad Ali Yafie, Arti kehadiran kitab kuning bagi perkembangan Hukum di Indonesia, dalam Jurnal Studi dan Informasi Keagaman, Dialog, No. 28, Th. XIII, Maret 1989
Steenbrink, Karel. A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES
Whjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Alternatif Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
Zamakhsyari dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta : LP3ES, 1994. cet. Ke-6



[1] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam Potret Timur Tengah Era Awal dan Di Indonesia, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005), 68.
[2] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) , 279.
[3] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta:Kalam Mulia,2010), 276.
[4] Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos.117-118.1
[5] Azzumardi Azra, Pemikiran Islam Tradisi dan Modernitas Menuju Milinium Baru, (Ciputat: Logos, 1999), 130 .
[6] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam,(Ciputat: Quantum Teaching, 2005), 70.
[7] Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam (Jakarta:Pustaka Al Husna, 1989), 314-315.
[8] Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, Terj.Lilian D.Tedjasukandhana (Jakarta: INIS,1992), 142.
[9] Azzumardi Azra, The Rise and the Decline of the Minangkabau: A Traditional Islamic Educational Institution in West Sumatera During The Deutch Colonial Government (Colombia :Colombia University, 1988), 22.
[10] Hasbullah, 1995. Sejarah Pendidikan Islam; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 21.
[11] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 34.
[12] Mahmud, Sejarah, 35-41
[13] Ibid, …41- 48
[14] Ibid, …, 53-54.
[15] Ibid, …, 49
[16] Hamka, Kenang kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 56-57
[17] Ka`bah, Rifyal, dkk., 1988. Pendidikan Islam di Indonesia. Jilid I, Kairo: Kedutaan Besar RI Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 15.
[18] Hasbullah, Op. Cit. Hlm. 122-123.
[19] Dobbin, Kebangkitan, 137.
[20] Azra, The Rise, 40.
[21] Nizar, Pergolakan, 79.
[22] Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS,1991), 50.
[23] Hawas Abdullah, Perkembangan Tasauf dan tokoh tokohnya di Nusantara (Surabaya:Al Ihklas,1983), 120.
[24] Abuddin Nata , Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo,2001),42.
[25] Abuddin Nata, Sejarah, 43.
[26] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai, LP3ES (Jakarta:LP3ES,1986), 18.
[27] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, Hal. 195
[28] Mustafa Syarif, Administrasi Pesantren (Jakarta: Karya Barkah,1982), 5.
[29] Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia(Jakarta: Dharma Bhakti,1979),9
[30] K.H. Ali Maksum, Ajakan suci (Yogyakarta: LTN NU, 1993), 121.
[31] Nurcholis Majid, Bilik Bilik Pesantren, sebuah potret Perjalanan (Jakarta:Paramadina,1997),103.
[32] Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004), 157.
[33] Azra, Pemikiran, 95.
[34] Depag RI, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: 2005),97.
[35] Whjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Alternatif Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
[36] Hasbullah,  hal 139.
[37] Martin van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning ; Pemelihara dan Kesinambungan Tradisi Pesantren, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol III, No. 4 Th. 1992. hal  76-77
[38] Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1984. 104
[39] Dhofier, Tradisi, 44.
[40] Zamakhsyari dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta : LP3ES, 1994. cet. Ke-6, Hal 28-29.
[41] Mahmud Yunus, hal 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar