Karakteristik dan Dinamika Lembaga
Pendidikan Islam di Nusantara
Surau, Meunasah dan Pesantren
A. Pendahuluan
Membicarakan wacana kelembagaan pendidikan
Islam di Nusantara khususnya di Minangkabau pada masa awal, merupakan persoalan
yang menarik untuk dikaji. Hal ini setidaknya disebabkan oleh empat faktor,
yaitu : Pertama, lembaga pendidikan merupakan sarana yang strategis bagi proses
terjadinya transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial. Dalam
lintas sejarah, kehadiran lembaga pendidikan Islam telah memberikan andil yang
sangat besar bagi pengembangan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Kedua, pelacakan eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari
proses masuknya Islam di Indonesia dan mengalami akulturasi budaya lokal
(adat). Ketiga, kemunculan lembaga pendidikan Islam dalam sebuah komuntas,
tidak mengalami ruang hampa, akan tetapi senantiasa dinamis, baik dari fungsi
dan sistem pembelajarannya. Keempat, kehadiran lembaga pendidikan Islam, telah
memberikan spektrum tersendiri dalam membuka wawasan dan dinamika intelektual
umat Islam.[1]
Sejarah perkembangan dan pertumbuhan
pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh adanya lembaga lembaga
pendidikan Islam yang amat bervariasi, namun antara satu dan yang lainnya
memiliki hubungan subtansial dan fungsional. Dinamika pertumbuhan dan
perkembangan lembaga lembaga pendidikan Islam tersebut selain dipengaruhi oleh
faktor internal dari para pendirinya, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal
yang bersifat global. Kedua pengaruh ini satu dan yang lainnya secara
akumulatif berpadu menjadi satu dan menghasilkan bentuk dan corak dari lembaga
pendidikan yang bersangkutan.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia
antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara
bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap tahap yang sudah
terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi
dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya.[2]
Perkembangan lembaga lembaga pendidikan
tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri
untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensif. Kini sudah banyak hasil
penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan
lembaga lembaga pendidikan Islam tersebut.
Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan
perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa masa berikutnya.
Hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia,
yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi
baru yang baik lagi. Dengan cara demikian upaya pengembangan lembaga pendidikan
Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara radikal.
Lembaga pendidikan tersebut merupakan salah
satu sistem yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan secara berkesinambungan
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Adanya kelembagaan dalam masyarakat,
dalam rangka proses pembudayaan umat, merupakan tugas dan tanggung jawabnya
yang kultural dan edukatif terhadap masyarakatnya yang semakin berat. Tanggung
jawab lembaga pendidikan tersebut dalam segala jenisnya menurut pandangan Islam
adalah erat kaitannya dengan usaha menyukseskan misi sebagai seorang muslim.
Lembaga pendidikan Islam merupakan hasil
pemikiran yang dicetuskan oleh kebutuhan kebutuhan masyarakat yang didasari,
digerakkan, dan dikembangkan oleh jiwa Islam (Al-Qur’an dan Sunnah).Lembaga
pendidikan Islam secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang datang dari luar,
melainkan dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai hubungan yang erat
dengan kehidupan Islam secara umum. Islam telah mengenal lembaga pendidikan
sejak detik detik awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.Rumah Al Arqam
ibn Abi Al Arqam merupakan lembaga pendidikan pertama. Guru agung yang pertama
adalah Nabi Muhammad Saw dengan sekumpulan kecil pengikut pengikutnya yang
percaya kepadanya secara diam diam. Dan di rumah itulah Nabi mengajarkan Al
Qur’an. [3]
Lembaga pendidikan Islam bukanlah lembaga
beku, tetapi feksibel, berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat.Hal ini
seiring dengan luasnya daerah Islam yang membawa dampak pada pertambahan jumlah
penduduk Islam. Dan dengan adanya keinginan untuk memperoleh aktifitas belajar
yang memadai. Sejalan dengan makin berkembangnya pemikiran tentang pendidikan,
maka didirikanlah berbagai macam lembaga pendidikan Islam mulai dari bentuk
tradisional maupun dalam bentuk yang sudah modern. Untuk itu tulisan ini
mencoba melacak akar pertumbuhan dan perkembangan dari lembaga pendidikan
Surau, meunasah, pesantren dan madrasah dan mengungkap eksistensi, peranan, dan
dinamika lembaga-lembaga pendidikan tersebut di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Surau
a. Awal Pertumbuhan Surau
Di Minangkabau, keberadaan lembaga pendidikan Islam sejak masa awal
telah mendapat perhatian yang cukup besar. Pada masa ini, surau merupakan
lembaga pendidikan Islam yang sangat strategis. Eksistensi surau memiliki
fungsi ganda, yaitu di samping sebagai tempat ibadah, pendidikan serta tempat
berkumpulnya anak laki laki. Fenomena ini telah ikut memperlancar terjadinya
proses pendidikan Islam secara efektif.
Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan
penggunaannya meluas sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari
Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan
Islam, istilah ini pernah digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama
Hindu-Budha.[4]
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri
pada 1356 M. yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak Upaya pelacakan surau sebagai lembaga pendidikan Islam
awal di Minangkabau, seringkali terlupakan. Hal ini disebabkan karena kurangnya
informasi tentang wacana ini dan keterbatasan pengetahuan umat Islam dalam
memahami surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Secara umum, surau hanya
dipandang sebagai tempat ibadah (sholat). Hanya saja, untuk kasus Minangkabau,
surau mengalami pelebaran fungsi, baik sebagai tempat ibadah, tarekat (suluk),
pendidikan, dan bahkan tempat berkumpul anak laki laki setelah mereka baliqh.
Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat
strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap
ajaran ajaran Islam. Bahkan, lembaga ini telah mampu pula mencetak para ulama
ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan rasa masionalisme umat Islam, terutama
dalam upaya mengusir kolonial Belanda.
Istilah Surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau
dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap
rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan
tempat tidur bagi anak laki laki yang sudah balig dan orang tua yang sudah
uzur.[5] Fungsi surau
ini semakin kuat karena dalam stuktur masyarakat Minangkabau menganut sistem
matrilineal,[6]
menurut ketentuan adat bahwa laki laki tak punya kamar di rumah orang tua
mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat
amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu
pengetahuan maupun ketrampilan praktis lainnya.
Tatkala Islam masuk,[7]
kehadiran surau pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin sebagai
tempat melaksanakan sholat dan pendidikan tarekat (suluk), dengan cepat bisa
tersosialisasi secara baik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Posisi surau
kemudian mengalami perkembangan. Selain fungsinya di atas, surau juga menjadi
tempat berkumpulnya anak laki laki yang telah baligh dan persinggahan bagi
perantau.[8]
Dalam perkembangannya, eksistensi surau merupakan lembaga yang sangat
strategis bagi penyiaran agama Islam.Bahkan banyak informasi yang diperoleh
para pemuda Minangkabau melalui interaksi mereka dengan perantau yang singgah
di surau.[9] Di sini terlihat bagaimana sesungguhnya surau
era awal, telah berperan multi fungsional, baik dalam wacana keilmuan maupun
keagamaan.
b. Surau sebagai Lembaga Pendidikan Islam
di Minangkabau
Sebagai sebuah proses permulaan atau pembentukan, sistem
surau ini dilakukan dengan memberikan contoh dan suri tauladan. Mereka diajari
bagaimana berlaku sopan-santun, ramah-tamah, tulus ikhlas, amanah, dan
kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta
menghormati adat istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara
tertarik untuk memeluk agama Islam[10]
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem
pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di
seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu ilmu
keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah.[11]
Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam
mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu :
1. Pengajaran
Al Qur’an.
Untuk mempelajari Al-Qur’an, ada dua macam
tingkatan.
a. Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf
Al-Qur’an. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudlu dan tata cara sholat
yang dilakukan dengan metode praktek dan menghafal, keimanan -terutama sifat
dua puluh- dengan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan
dengan metode cerita tentang nabi dan orang orang shaleh lainnya.
b. Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Qur’an dengan lagu,
kasidah, berzanji, tajwid, dan kitab Perukunan. Lama pendidikan di kedua jenis
pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tammat bila
ia telah mampu menguasai materi materi di atas dengan baik. Bahkan adakalanya
seorang siswa yang telah menamatkan Al-Qur;an sebanyak dua atau tiga kali baru
ia berhenti dari pengajian Al-Qur’an.[12]
2. Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahu, ilmu
fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan
membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Melayu.
Setelah itu baru diterangkan maksudnya.Penekanan pengajaran pada jenjang ini
adalah aspek hafalan.Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya
dilakukan melalui cara menghafalkan materi dengan lagu lagu
tertentu.Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang ini biasanya dilakukan pada siang
dan malam hari.[13]
Pada masa awal, kitab yang dipelajari pada masing masing materi
pendidikan masih mengacu pada satu kitab tertentu. Setelah ulama Minangkabau
yang belajar di Timur Tengah kembali ke tanah air, sumber yang digunakan mulai
mengalami perg seseran. Kitab yang digunakan pada setiap materi pendidikan
sudah bermacam macam.[14]
Hal ini menurut hemat penulis adalah wajar. Sebab, untuk mendapatkan
suatu kitab pada masa awal, bukan merupakan hal yang mudah. Akan tetapi setelah
melakukan kontak langsung dengan Timur Tengah, semakin mudah bagi mereka
(ulama) untuk memperoleh sumber sumber (kitab) baru lainnya. Pada era ini telah
ada upaya untuk melahirkan seorang guru agama. Siswa siswa yang telah
menamatkan pelajaran ilmu fiqh dan tafsir, kemudian diangkat sebagai guru bantu
surau untuk beberapa waktu lamanya.
Apabila guru bantu surau telah dianggap mampu, baik dalam penguasaan
materi maupun memecahkan persoalan dalam sebuah kitab, maka ia kemudian
diangkat menjadi guru muda (engku muda), kemudian lebai, dan kemudian Syekh.
Disini ia baru memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu ilmu agama pada
murid-muridnya. Proses ini berlangsung cukup lama. Setelah memiliki otoritas
penuh, barulah ia pulang ke kampungnya untuk mendirikan surau baru sebagai
tempat melaksanakan pendidikan dan penyebaran agama Islam.[15]
Jika dianalisa, bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern,
sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahan. Pertama,
kelebihannya adalah pola kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Kedua
lemahnya kemampuan memahami dan daya analisa kritis siswa terhadap teks. Di
sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang
bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa
yang dibaca dan dihafalkannya itu. Hal ini diakui oleh Hamka sebagai suatu
kelemahan sistem pendidikan Islam Minangkabau waktu itu.[16]
Adapun surau memakai sistem kelas pertama kalinya ialah Sumatera Thawalib
Pandang Panjang dibawah pimpinan Syekh Abd Karim Amarullah pada tahun 1921.
Karena ulama menyadari bahwa sistem pendidikan surau tidak sesuai dengan iklim
Indonesia dan jumlah murid belajar, dari hari ke hari, semakin bertambah.[17]
Dalam catatan Abdurrahman Al-Nahlawi, seperti dikatakan oleh Hasbullah,
bahwa pendidikan masjid atau surau memiliki implikasi moral terhadap pembentukan
sikap umat. Di antaranya:
1. Mendidik anak untuk beribadah kepada Allah Swt.
2. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan menanamkan solidaritas
sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajibannya sebagai insan pribadi,
sosial, dan warga negara.
3. Memberi rasa ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi ruhani
manusia melalui pendidikan kesabaran, keberanian, perenungan optimisme dan
pengadaan penelitian.[18]
c. Surau sebagai Lembaga Pendidikan
Tarekat.
Tumbuhnya surau sebagai lembaga pendidikan agama dan
tarekat (suluk) terus berkembang dengan pesat. Setiap ulama Minangkabau,
memiliki surau sendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun
tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan momentumnya, sehingga
dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga
pendidikan masyarakat, akan tetapi lebih dari itu menunjukkan bentuk tarekat
yang dianut oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau.[19]
Bahkan pada era ini, fungsi surau terkadang lebih dominan sebagai tempat
praktek tarekat, ketimbang sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di
Minangkabau memiliki otoritas tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun
penekanan cabang ilmu ilmu keIslaman.
Meskipun setiap ulama memiliki otoritas sendiri dalam
mengembangkan aliran tarekat di suraunya, akan tetapi perkembangan tarekat
tarekat di Minangkabau, memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari
penekanan pada hal hal yang bersifat esoterik dan lebih dominan ketimbang
syari’ah. Pendekatan ini di samping memiliki kelebihan, juga memiliki
kelemahan. Khusus kasus Minangkabau, pelaksanaan pendekatan tarekat yang
demikian itu telah mengakibatkan umat Islam kurang memahami syari’at Islam.
Fenomena ini dapat dilihat dari masih berkembangnya praktek praktek sinkretis
terhadap kepercayaan pra Islam. Untuk itu, tidak heran jika masih berkembangnya
praktek praktek adat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Melihat kondisi masyarakat yang demikian, maka Syekh
Abdurrahman, salah seorang Ulama dari Batu Hampar, berupaya menyadarkan umat
dengan pendekatan persuasif, yaitu melalui pemuka adat yang sangat berpengaruh
terhadap eksistensi adat. Metode ini sangat efektif dan bisa diterima dengan
baik oleh para pemuka adat. Bahkan bersama sama dengan para ulama, pemuka adat
mengajak masyarakat untuk meninggalkan praktek adat yang bercampur khurafat dan
bid’ah.[20]
Dengan keberhasilan itu banyak masyarakat yang ingin mempelajari agama. Untuk
itu Syekh Abdurrahman mendirikan surau, baik sebagai tempat ibadah maupun
sebagai lembaga pendidikan Islam.
Di suraunya ini, Syekh Abdurrahman mengajarkan agama
dan membaca Al-Qur’an. Melalui bacaan yang baik telah menjadi daya tarik tersendiri.
Maka ramailah umat Islam yang belajar dengannya. Keterkaitan umat Islam untuk
belajar bukan saja dari Minangkabau, akan tetapi juga dari wilayah lainnya,
seperti Jambi, Palembang, Bangka, dan wilayah lainnya.[21]
Namun demikian, pada sebagian wilayah, eksistensi adat
yang bercampur dengan khurafat dan bid’ah, masih tetap mengkristal dalam
kehidupan umat Islam. Masyarakat Agam umpamanya, memiliki adat sinkretis yang
bertentangan dengan ajaran Islam, seperti mencuri, merampok, minum arak,
berjudi (khususnya menyabung ayam). Dengan penuh kesabaran para ulama
Minangkabau mengajak mereka untuk memeluk agama Islam, melalui pendekatan
pemuka adat. Upaya ini akhirnya berhasil walaupun menemui berbagai kesulitan.
Akan tetapi sikap hidup dan praktek adat yang telah mengkristal dalam kehidupan
masyarakat, sulit untuk dihapus.
Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam,
posisi surau sangat strategis, baik dalam proses pengembangan Islam maupun
pemahaman terhadap ajaran ajaran Islam. Bahkan lembaga ini telah mampu pula
mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan rasa nasionalisme umat
Islam terutama dalam upaya mengusir kolonial Belanda. Melalui pendidikan
tradisionalnya Minangkabau telah melahirkan sejumlah ulama besar yang menghiasi
sejarah umat Islam Indonesia, seperti Haji Rasul, AR.St.Mansur, Abdullah Ahmad
dan Hamka.
2. Meunasah
Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong
(kampong, desa). Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan diskusi
dan membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Disamping itu, ia juga menjadi
tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai
istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga menjadi tempat sholat bagi
masyarakat dalam satu ‘gampong’.[22]
Meunasah, secara fisik adalah bangunan rumah panggung yang dibuat pada
setiap kampung, setiap kampung terdiri dari 40 rumah dan diketuai oleh keucik.
Dalam meunasah terdapat sumur, bak air, dan wc yang terletak berjarak dengan
meunasah. Biasanya meunasah terletak dipinggir jalan.
Dalam perkembangan selanjutnya meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah
saja , melainkan juga tempat pendidikan , tempat pertemuan, bahkan juga tempat
transaksi jual beli barang tak bergerak, kemudian juga sebagai tempat menginap
para musafir, tempat membaca hikayat dan tempat mendamaikan jika ada warga
kampong yang bertikai.[23]
Bahkan menurut Gazalba meunasah juga digunakan sebagai tempat berzikir, berdoa
dan tempat praktik tarekat yang kemudian disebut suluk.
Meunasah sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga pendidikan
terendah dan meunasah dipimpin oleh Tengku Meunasah, sedangkan untuk anak murid
perempuan diajar oleh teungku perempuan yang disebut teungku inong.
Diantara fungsi meunasah itu adalah
a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat
pengeluarannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima
tamu.
b. Sebagai lembaga pendidikan Islam dimana diajarkan pelajaran membaca
Al-Qur’an. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan
metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian pada hari jum’at dipakai ibu
ibu untuk sholat berjama’ah zuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh
seorang guru perempuan.[24]
Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Pengajaran
umumnya berlangsung pada malam hari. Materi pelajaran dimulai dengan membaca
Al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuet Qur’an. Biasanya pelajaran
diawali dengan mengajarkan huruf hijaiyah, seperti yang terdapat dalam buku
Qaidah Baqhdadiyah, dengan metode mengeja huruf, kemudian merangkai huruf.
Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz amma, sambil menghafalkan surat
surat pendek. Setelah itu baru ditingkatkan kepada membaca Al-Qur’an besar
dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu diajarkan pula pokok pokok agama
seperti rukun iman, rukun Islam dan sifat sifat Allah. Selain itu juga
diajarkan rukun sholat, rukun puasa serta zakat. Tak ketinggalan, pelajaran
menyanyi juga diajarkan, terutama nyanyian yang berhubungan dengan agama yang
dalam bahasa Aceh disebut dike atau seulaweut (zikir atau sholawat). Buku buku
pelajaran yang digunakan adalah buku buku yang berbahasa Melayu seperti kitab
parukunan dan Risalah Masail al Muhtadin.[25]
Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para Tengku
tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun biasanya Tengku
mendapatkan hadiah dari murid muridnya apabila mereka telah belajar Al-Qur’an
sampai juz ke-15 atau pada saat khattam Al-Qur’an. Hadiah hadiah lain juga
diperoleh pada waktu upacara upacara akad nikah, sunat, pembagian harta
warisan, perkara perdata, menghadiri sidang sidang pengadilan, pemberian
nasehat nasehat dan juga dari zakat.
Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat
mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan
kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa
lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai
fanatisme agama yang tinggi.
3. Pesantren
a. Latar Belakang Berdirinya Pondok
Pesantren
Pesantren dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek para sarjana
barat mempelajari Islam. Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat
awalan pe akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri.
Istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, dan ada juga
yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti orang orang yang tahu buku buku
suci, buku agama, atau buku buku tentang ilmu pengetahuan.[26]
Jadi istilah pesantren itu masuk ke Indonesia bersamaan masuk dan berkembangnya
agama Hindu, sebelum datangnya Islam.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sekurang kurangnya
mempunyai tiga ciri umum yaitu kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai
tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat kegiatan, adanya pendidikan
dan pengajaran agama Islam melalui sistem pengajian kitab dengan metode
wetonan, sorogan, dan musyawarah, yang sebagian sekarang telah berkembang
dengan sistem klasikal atau madrasah.
Tokoh-tokoh
Islam Indonesia yang mendirikan pesantren merupakan Alumni-alumni dari Mekkah .
Mereka bersamaan naik haji dan tinggal beberapa tahun untuk belajar mendalami
ilmu agama setelah tamat mereka kembali ke Indonesia membawa warna baru bagi
pendidikan Islam . Tokoh tersebutlah yang mendirikan pesantren seperti
pesantren Tebuireng yang dirikan oleh KH. Hasyim ‘Asy’ari, pesantren
Al-Mushatafiyah Purba baru Tapanuli selatan yang dirikan oleh Syaik Mustafa
Husein tahun 1913.[27]
Adapun ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan yang kharismatik dan
suasana keagamaan yang mendalam.[28]
Marwan Sarijo juga mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan,
sorogan dan wetonan. Para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri
yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi kriteria pendidikan non formal
dan menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah
umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kebutuhan masyarakat.[29]
Sedangkan menurut K.H.Ali Maksum bahwa pesantren merupakan asrama tempat
tinggal para kyai beserta keluarga dengan santri yang mengaji di tempat yang
disediakan. Pengajian di sini berbahasa Arab, baik karangan karangan lama
ataupun buah karya pengarang baru.[30]
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai misi sangat luas dan kompleks,
yang terutama dan paling mendasar adalah pemahaman terhadap agama dan dakwah
Islamiyah.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena
itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis
dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah tengah
masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnyapun
mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya
memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu
yang asli atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai
positif dan harus dikembangkan.[31]
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu satunya lembaga
kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi.[32]
Dengan kondisi demikian itu, kata Azzumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap
survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi
pendidikan Islam di berbagai belahan dunia, tidak banyak lembaga lembaga
pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan
lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau sekuler.[33]
Nilai nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk
mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain.
Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding
dengan sistem pendidikan modern.Sejarah masuknya agama Islam di Indonesia
adalah karena penyebaran Agama Islam oleh mubalig mubalig pertama dengan
penerangan dan amalan serta melalui pendidikan berbentuk pondok pesantren. Kemudian
mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan keadaan, waktu, dan
tempat. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan pertama yang dikenal oleh umat Islam di Indonesia.[34]
b. Sejarah
perkembangan pesantren
1.
Pesantren periode pra abad-19
Menurut riwayat
yang pertama kali mengadakan ‘ pondok pesantren” bukan dalam arti sesungguhnya
sebagai tempat bagi santri untuk memperdalam ilmu agama, adalah Maulana Malik
Ibrahim atau sunan Gresik ( w. 1419 M ). Yang dirikan di Jawa[35]
Pada tahun 1475
diterangkan pula bahwa Raden Fattah telah mendirikan di hutan Glagah Arum, yang
diupayakan untuk mendidik para da’I dalam propaganda islam . perkembangan
pesantren terus melaju hingga berdirinya kerajaan Demak, pelajaran yang diberikan
umumnya pelajaran Islam tingkat dasar, kitab yang dipergunakan dinamakan
prombon, juga memuat ilmu agama dasar, doa, pertabiban dan ilmu ghaib. Primbon
tersebut biasa terlarang bagi yang tidak berhak menjadi murid. Pelajaran agama
saat masih sangat sederhana. Hal ini berlangsung hingga menjelang abad ke-19.[36]
Survai belanda
pertama terhadap pendidikan asli tahun 1819, bahkan memberi kesan bahwa
pesantren yang betul memang belum ada saat itu di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga
pendidikan yang ada mirip pesantren ( pengajian al-Qur’an), tersebar di
priangan, Pekalongan, Rembang, Kedua, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo, di daerah
lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan yang
didirikan di rumah pribadi atau masjid. Demikian juga di kalimantan, Sulawesi
dan lombok, belum terdapat pesantren sebelum abad ke-20, pendidikan Islam hanya
dilakukan secara informal di masjid atau dirumah para kyai. Bagi yang memiliki
minat keilmuan tinggi biasanya langsung menuju Jawa atau Mekkah untuk menimbah
Ilmu.[37]
2.
Pesantren abad ke-19
Memasuki abad
ke-19 baru terdapat pesantren yang benar-benar diakui secara luas sebagai
pesantren. Pesantren pada masa ini masih terkenal adalah : 1) pesantren
Tebuireng yang didirikan 26 Rabi’ul awal tahun 1899 M. oleh KH. Hasyim Asy’ari,
2) Pondok pesantren Tambak Beras Jombang, didirikan oleh kyai Hasbullah, 3)
pesantren Redjoso, Peterongan, Jombang didirikan oleh KH.Tamin pada tahun 1919,
kemudian diteruskan oleh KH. Ramli Tamin dan juga KH. Mustami’an Ramli. 4)
Pondok pesantren Modern Gontot Ponorogo oleh KH ImamZarkasyi pada tahun1926M.[38]
Pondok
pesantren dalam perkembangannya telah banyak memberikan sumbangan bagi
Indonesia, bahkan beberapa cendikiawan besar, ulama besar dan bahkan birokrat
banyak yang berasal dari pondok ini.
Selain di Jawa,
pondok pesantren pada abad ke-19 dan juga abad ke-20 telah tersebar di seluruh
Indonesia, dapat dikatakan teersebar hampir keseluruh penjuru nusantra, Jambi
misalnya memiliki pesantren Nurul Iman, walaupun dikatakan Madrasah namun
menggunakan system pesantren yang diperbaharui.
c. Unsur unsur Pesantren
Tegak berdirinya sebuah pesantren sekurang kurangnya harus didukung oleh
lima unsur atau elemen yaitu adanya pondok, masjid, pengajaran kitab kitab
klasik, santri, dan kyai.[39]
Jika dilihat dari proses munculnya atau lahirnya sebuah pesantren, maka kelima
elemen itu adalah kyai, masjid, santri, pondok, dan pengajaran kitab kitab
klasik. Kyai sebagai cikal bakal berdirinya pesantren, biasanya tinggal
disebuah pemukiman baru yang cukup luas.
Karena terpanggil untuk berdakwah maka kyai mendirikan masjid yang
terkadang bermula dari musholla. Jamaah semakin ramai dan yang tempat
tinggalnya jauh ingin menetap bersama kyai, mereka itu disebut santri. Jika
mereka yang bermukim disitu jumlahnya banyak, maka perlu dibangunkan pondok
atau asrama agar tidak mengganggu ketenangan masjid serta keluarga kyai. Dengan
mengambil tempat di masjid, kyai mengajar santrinya dengan materi materi kitab
Islam klasik.
Dalam
penyelengaraan pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren yang sekarang ini,
paling tidak dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam, yang pada
umumnya dngan cara non klasikal atau sistem bandungan atau sorogan.
2. Pesantren
adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam yang pada dasarnya sama
dengan pondok pesantren diatas, tetapi santrinya tidak disediakan pondokan di
komplek pesantren namun tinggal di sekeliling desa tempat pesantren berada.
Dimana sistem pendidikan dan pengajaran yang diberikan dengan sistem weton
yaitu para santri datang dengan berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
3. Pondok
pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan
pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama dengan sistem
bandungan, sorogan, wetonan dengan disediakan pondokan atau merupakan santri
kalong (santri yang tidak menetap di pondok, melainkan menetap dirumahhnya
masing-masing santri) yang dalam istilah pendididkan pondok pesantren modern
memenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan
formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum.
c. Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren
pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya
ialah kitab kitab bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di
pesantren ialah Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam,
fiqh dan ushul fiqh, hadist dengan musthalah hadist, bahasa Arab dengan
ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasauf.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam
pendidikan pesantren ialah :
1. Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana para santri mengikuti
pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri
menyimak kitab masing masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada
waktu waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan sholat fardu. Di
Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera disebut
dengan halaqah.
2. Sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kyai seorang demi
seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini
merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam
tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi santri/ kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif,
karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab
langsung.
3. Hafalan, yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat
tertentu dari kitab yang dipelajarinya.[40]
d. Jenjang Pendidikan dan Fungsi Pesantren
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi
seperti dalam lembaga lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya
kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab
yang dipelajari. Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas
seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab kitab yang telah
ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga
pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran
keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan
formal madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi dan non formal. Sebagai lembaga
sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa
membeda-bedakan status sosial, menerima tam yang datang dari masyarakat umum
dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama islam, masjid
pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar
agama dan ibadah bagi para jamaah.
Disamping fungsi di atas, pesantren juga mempunyai
peranan yang sangat besar dalam merespons ekspansi politik imprialis Belanda
dalam bentuk menolak segala sesuatu yang “berbau” barat dengan menutup diri dan
menaruh sikap curiga terhadap unsur-unsur asing. Dan lebih dari itu, pesantren
sebagai tempat mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dan tanah
air.
e. Kehidupan kiai dan santri
Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetao
(bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar
kepadanya dan turut pula bermukim ditempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan
pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat
disekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil
tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.
Eksistensi kiai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu
disegani, dipatuhi dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat
sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kiai untuk memperoleh berkah,
sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamkhsyari Dhofier,
“kiai memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan
masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam Tegasnya., kiai adalah
tempat bertanya atau sumber refrensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan
tempat meminta nasihat dan fatwa.
Berikut ini dipaparkan berapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan
pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya.
Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut.
1) Adanya hubungan yang akrab antara santri
dengan kiainya
2) Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
3) Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4) Kemandirian
5) Jiwa tolong-menolong dan suasana
persaudaraan
6) Kedisiplinan
7) Berani menderita untuk mencapai suatu
tujuan
8) Pemberian ijazah
Perlu dicatat bahwa ciri-ciri diatas merupakan gambaran sosok pesantren
dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan
kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian
besar pesantren. Maka pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah
pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah
mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang
berbeda-beda.
Dilihat dari proses transformasi tersebut, sekurang-kurangnya pesantren
dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren
tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai
tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam
sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren
ini. Umumnya pesantren corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau
pedesaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam
mempertahankan tradisi-tradisi keislaman. Kedua, pesantren tradisonal,
corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan
moderen, tetapi tidak sepenuhnya.
Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara.
Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah
wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen dan
administrasi sudah mulai ditata secara moderen meskipun sistem tradisionalnya
masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai
dipungut. Alumni pesantren corak ini cendrung melanjutkan pendidikannya kesekolah
atau perguruan tinggi formal. Ketiga, pesantren moderen. Pesantren corak
ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem
pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaanya. Materi pelajaran dan metodenya
sudah sepenuhnya menganut sistem moderen. Pengembangan bakat dan minat sangat
diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara
proposional. Sistem pengajaran dapat dilaksanakan dengan porsi sama antara
pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (Bahasa Arab dan Inggris)
sangat ditekankan.
Perbandingan pendidikan Islam menurut sistim lama dengan pendidikan
Islam pada masa perubahan[41]
Sistem lama
|
Masa perubahan
|
1.
pelajaran
ilmu-ilmu itu diajarkan satu demi Satu
2.
Pelajaran
ilmu sharaf didahulukan dari ilmu nahwu
3.
Buku
pelajaran yang mula-mula dikarang oleh ulama Indonesia serta terjemahkan
dengan bahasa Melayu.
4.
kitab-kitab
itu umumnya tulis tangan
5.
Pelajaran
suatu ilmu, hanya dikerjarakan dalam satu macam kitab saja.
6.
Toko
kitab belum ada, hanya ada orang pandai menyalin kitab dengan tulisan tangan.
7.
Ilmu
agama sedikit sekali, karena sedikit bacaan.
8.
Belum
lahir aliran baru dalam Islam.
|
1.
Pelajaran
ilmu-ilmu itu dihimpun 2 sampai 6 ilmu sekaligus.
2.
Pelajaran
ilmu Nahwu di dahulukan / disamakan dengan ilmu sharaf.
3.
Buku
Pelajaran semuanya karangan ulama Islam dahulu kala dan dalam bahasa Arab.
4.
kitab-kitab
itu semuanya dicetak ( dicap).
5.
Pelajaran
suatu ilmu di ajarkan dalam beberapa macam kitab : rendah, menengah dan
tinggi.
6.
Toko
kitab telah ada yang memesan kitab-kitab ke Mesir / Mekkah.
7.
Ilmu
agama telah luas berkembang, karena telah banyak kitab bacaan.
8.
Mulai
lahir aliran baru dalam Islam yang bawa oleh majalah Al-Manar di Mesir.
|
C. Penutup
Surau bagi masyarakat Minangkabau memiliki multifungsi. Tidak hanya
berfungsi sebagai tempat berkumpul, rapat, tempat tidur tetapi juga berfungsi
sebagai lembaga pendidikan Islam. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang
terbuka artinya masyarakat yang tidak menutup diri untuk menerima perubahan.
Sehingga pada akhirnya perubahan yang terjadi menjadi sebuah ancaman bagi
kelangsungan institusi surau sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Tetapi
dibalik itu, surau telah mampu melahirkan ulama ulama besar yang disegani baik
di Minangkabau maupun di luar Minangkabau bahkan internasional.
Meunasah merupakan lembaga pendidikan tingkat rendah yang ada di Aceh.
Fungsinya hampir sama dengan surau yang ada di Minangkabau. Sebagai lembaga
pendidikan Islam tingkat rendah, materi pelajaran yang diberikanpun masih
seputar pengetahuan tentang bagaimana cara membaca Al-Qur’an yang baik dan
benar, kemudian baru diberikan pengetahuan tentang keimanan, akhlak dan ibadah.
Lama pendidikannyapun tidak ditentukan berkisar antara dua sampai sepuluh
tahun, tidak dipungut bayaran, lembaga pendidikan ini telah mampu mencetak
masyarakat Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang
di pulau Jawa dan sampai sekarang tetap survive. Untuk bisa dikatakan sebuah
pesantren sekurang kurangnya harus memiliki Kyai, santri, masjid, dan
pemondokan (asrama).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pesantren,
Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun Modern, Jakarta ; Pustaka
LP3ES, 1994, Cet. Ke 2.
Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004
Azyurmadi, Pendidikan
Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos 1990.
Disarikan dari
Cliford Geetz, The Religion of Java, ( Ter), Aswab Mahasin, Abangan, Santri,
Priyayi dalam masyarakat Jawa, Jakarta : Kerja sama Yayasan ilmu-ilmu
social dan Dunia Pustaka Jaya. 1983, Cet. Ke-3
Hasbullah, 1999. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia ; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan,
Jakarta : lembaga studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995, Cet. Ke-1
Ka`bah, Rifyal,
dkk., 1988. Pendidikan Islam di Indonesia. Kairo: Kedutaan Besar RI Pendidikan
dan Kebudayaan
Karel A. Steenbrink,
Pesantren Madrasah sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta
: LP3ES
Mammud Junus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Mahmudah, 1960
Martin van
Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning ; Pemelihara dan Kesinambungan Tradisi
Pesantren, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol III, No. 4
Th. 1992.
Muhammad Ali
Yafie, Arti kehadiran kitab kuning bagi perkembangan Hukum di Indonesia,
dalam Jurnal Studi dan Informasi Keagaman, Dialog, No. 28, Th. XIII, Maret 1989
Steenbrink,
Karel. A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern. Jakarta: LP3ES
Whjoetomo, Perguruan
Tinggi Pesantren, Alternatif Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
Zamakhsyari
dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta
: LP3ES, 1994. cet. Ke-6
[1] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran
Pendidikan Islam Potret Timur Tengah Era Awal dan Di Indonesia,
(Ciputat : Quantum Teaching, 2005), 68.
[4] Azra,
Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos.117-118.1
[5] Azzumardi Azra, Pemikiran Islam Tradisi dan Modernitas Menuju
Milinium Baru, (Ciputat: Logos, 1999), 130 .
[6] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam,(Ciputat:
Quantum Teaching, 2005), 70.
[7] Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam
(Jakarta:Pustaka Al Husna, 1989), 314-315.
[8] Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang
Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, Terj.Lilian D.Tedjasukandhana (Jakarta:
INIS,1992), 142.
[9] Azzumardi Azra, The Rise and the Decline of the Minangkabau: A
Traditional Islamic Educational Institution in West Sumatera During The Deutch
Colonial Government (Colombia :Colombia University, 1988), 22.
[10] Hasbullah, 1995. Sejarah
Pendidikan Islam; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada. Hlm. 21.
[17] Ka`bah, Rifyal, dkk.,
1988. Pendidikan Islam di Indonesia. Jilid I, Kairo: Kedutaan Besar RI
Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 15.
[23] Hawas Abdullah, Perkembangan Tasauf dan
tokoh tokohnya di Nusantara (Surabaya:Al Ihklas,1983), 120.
[24] Abuddin Nata , Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Grafindo,2001),42.
[26] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai,
LP3ES (Jakarta:LP3ES,1986), 18.
[27] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004, Hal. 195
[31] Nurcholis Majid, Bilik Bilik Pesantren,
sebuah potret Perjalanan (Jakarta:Paramadina,1997),103.
[35] Whjoetomo, Perguruan
Tinggi Pesantren, Alternatif Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
[36] Hasbullah, hal 139.
[37] Martin van
Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning ; Pemelihara dan Kesinambungan Tradisi
Pesantren, dalam jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol III, No. 4 Th.
1992. hal 76-77
[40] Zamakhsyari
dhofir, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta
: LP3ES, 1994. cet. Ke-6, Hal 28-29.
[41] Mahmud Yunus,
hal 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar