Senin, 24 Juni 2013

Studi Hadis

SAHIH IBNU KHUZAIMAH

Diajukan untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Hadis


















Oleh
Misbachul Munir
Nim: F1.3.2.12.181

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Zainul Arifin, MA


KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INTITUS AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
IBNU KHUZAIMAH

1.    Biografi Ibnu Khuzaimah
    Nama lengkap Ibn Khuzaimah adalah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Al-Naisaburi. Beliau lahir pada bulan Safar 223 H = 838 M di Naisabur (Nisapur), sebuah kota kecil di Khurasan, di bagian timur laut, negara Iran sekarang.
    Sejak kecil beliau telah mempelajari al-Qur’an. Hingga benar-benar memahaminya. Kemudian barulah setelah itu ayahnya memberi izin untuk mencari dan mempelajari hadis-hadis Nabi dengan melawat ke Marwa dan menemui Muhammad bin Hisyam dan Ibnu Qutaibah.
2.    Guru- guru Ibnu Khuzaimah    
    Sekitar tahun 240 H = 855 M, ketika Ibn Khuzaimah berusia 17 tahun, beliau giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam. Di Nisapur beliau belajar kepada Muhammad bin Humaid (w. 230 H = 844 M), Ishaq bin Rahawaih, (w. 238 H = 852 M) dan lain-lain. Di Marwa kepada Ali bin Muhammad, di Roy kepada Muhammad bin Maran dan lain-lain. Di Syam kepada Musa bin Sahl al-Ramli dan lain-lain. Di jazirah kepada ‘Abd al-Jabbar bin al-A’la, dan lain-lain. Di Wasit kepada Muhammad bin Harb, dan lain-lain. Di Bagdad kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani, dan lain-lain. Di Basrah kepada Nasr bin ‘Ali al-Azadi AL-Jahdimi dan lain-lain. Dan di Kufah kepada Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala al-Hamdani dan lain-lain. 
            Selain itu, ia pun banyak meriwayatkan hadis dari Ahmad bin Mani, Muhammad bin Rafi, Muhammad bin Basyar, Bandar Muhammad bin Ismail al Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Zuhali, Ahmad bin Sayar al-Marwazi, dan sebagainya. Ia juga menerima hadis dari imam al-Bukhari, Muslim, dan Khalaq. Guru-guru Ibn Khuzaimah memang sangat banyak jumlahnya.  Beliau sagat hati-hati dalam meriwayatkan hadis, beliau tidak mau meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw yang telah di terima dari guru-gurunya sebelum betul-betul memahaminya, dan seringkali diperlihatkan catatan-catatannya itu kepada gurunya.
3.    Murid-murid Ibnu Khuzaimah
            Murid-murid yang pernah meriwayatkan hadis dari Ibn Khuzaimah juga banyak. Bahkan disebutkan bahwa sejumlah gurunya pun ada yang menerima hadis darinya, seperti al-Bukhari, Muslim, dan Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakam. Diantara murid-murid Ibn Khuzaimah adalah Yahya bin Muhammad bin Sa’id, Abu Ali an-Naisaburi dan Khalaiq. Yang paling akhir meriwayatkan hadis darinya di Nisapur adalah cucunya sendiri yaitu Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl. 
            Hadis-hadisnya pun banyak diriwayatkan para ulama terkemuka pada zamannya. Diantara yang meriwayatkan hadis darinya adalah Abu al-Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabra’i, Abu Hatim, Muhammad bin Hibban, al-Busyti, Abu Ahmad, ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Jurjani, Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Abd Allah bin al-Bihani, Abu Bakar Muhammad bin Ismail as-Sasi, al-Qafal al-Kabir, dan lain-lain.
4.    Kepribadian dan pendapat para ulama terhadap Ibn Khuzaima.
    Beliau adalah seorang yang ulet dalam mencari ilmu pengetahuan dan cerdas, sehingga menjadi seorang imam besar di Khurasan. Beliau banyak menggeluti hadis dengan mempelajari dan mendiskusikannya. Karena itulah beliau juga terkenal sebagai seorang hafiz dan diberi gelar imam al-‘aimmah (pemimpin diantara pemimpin).
            Dari segi kepribadian, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang baik. Banyak kesaksian dan komentar dari banyak orang tentang hal ini. Beliau dikenal sebagai orang yang berani menyampaikan kebenaran, kritik dan koreksi, sekalipun terhadap penguasa, terutama berkaitan dengan penyampaian hadis yang keliru. Hal ini misalnya sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar bin Baluih, yaitu ketika Ibn Khuzaimah mengkritik Ismail bin Ahmad, salah seorang penguasa saat itu, yang menyampaikan hadis yang didalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak jelas yaitu Abu Zar al-Qadi.      
    Ibn Khuzaimah juga dikenal sangat dermawan dan suka bersedekah. Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl (w. 387 H = 997 M), cucu Ibn Khuzaimah, menyatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras dan suka memberi uang dan pakaian kepada pecinta ilmu meskipun sesungguhnya yang demikiannya itu sangat terbatas. Sementara al-Hakim menyatakan bahwa Ibn Khuzaimah sering melakukan dakwah secara besar-besaran di Bustan. Dan turut hadir juga dalam acara tersebut baik orang kaya maupun miskin. 
    Beliau adalah seorang yang mempunyai kecerdasan dan kekuatan hafalan yang luar biasa. Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Hafiz an-Naisaburi berkata, “Aku belum pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaimah). Beliau sangat mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari hadis-hadis Nabi sebagaimana dari hafalan al-Qur’an.” Hal senada juga dikemukakan ad-Daruqutni yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pakar hadis yang sangat terpercaya dan sulit mencari bandingannya. Sementara itu Ibnu Abi Hatim memberi komentar bahwa Ibn Khuzaimah adalah orang yang sangat mumpuni. Ar-Rabi’, salah seorang guru Ibn Khuzaimah dalam bidang fiqih, di samping Ibn Ruwaih dan al-Muzani, juga menuturkan secara tulus bahwa ia pun banyak memperoleh manfaat dari Ibn Khuzaimah.
5.    Karya-karyanya
                  Selama masa hayatnya Ibn Khuzaimah banyak menghasilkan karya tulis. Abu ‘Abd Allah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibn Khuzaimah mencapai lebih dari 140 buah. Akan tetapi, sebagian karya-karya beliau tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama atau judulnya. Karyanya yang masih dapat dijumpai saat ini hanya dua, yaitu kitab at-Tauhid dan kitab Sahih (Mukhtasar) -nya.
                  Namun, berdasarkan penelusuran M.M. Azami terhadap kedua kitab tersebut didalamnya beliau menemukan ada 35 buah nama kitab yang pernah disebutkan oleh Ibn Khuzaimah. Nama-nama kitab tersebut ialah:
1. al-Asyribah, 2. al-Imamah, 3. al-Ahwal, 4. al-Iman, 5. al-Iman wa al-Nuzur, 6. al-Birr wa al-Silah, 7. al-Buyu’, 8. al-Tafsir, 9. al-taubah, 10. al-Tawakkal, 11. al-Janaiz, 12. al-Jihad, 13. al-Duha 14. al-Da’awat, 15. Zikr Na’im al-Jannah, 16. Zikr Na’im al-Akhirah, 17. al-Sadaqat, 18. al-Sadaqat min kitabihi al-Kabir, 19. Sifat Nuzul al-Qur’an, 20. al-Mukhtasar min Kitab al-Salah, 21. al-Salat al-Kabir, 22. al-Salat, 23. al-Siyam, 24. al-Tibb wa al-Raqa, 25. al-Zihar, 26. al-Fitan, 27. Fadl Ali bin Abi Talib, 28. al-Qadr, 29. al-Kabir, 30. al-Libas, 31. Ma’ani al-Qur’an, 32. al-Manasik, 33. al-Wara, 34. al-Wasaya, 35. al-Qira’ah Khalfa al-Imam.
    Menurut M.M. Azami, dari penyebutan 35 nama kitab  diatas, term-term “kitab” tersebut dapat memiliki tiga kemungkinan;
1.      Merupakan judul/nama buku tersendiri,
2.      Hanya merupakan bagian atau bab dari satu buku,
3.      Dapat pula berarti kedua-duanya, yakni terkadang sebagai judul/nama buku tersendiri, dan terkadang sebagai bagian atau bab dari suatu buku.
            M.M. Azami berpendapat bahwa kemungkinan terakhirlah yang lebih kuat. Ia mengakui bahwa para ulama hadis seringkali menyusun kitab/bukunya terdiri dari beberapa kitab. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Kitab Sahih al-Bukhari yang terdiri dari beberapa kitab yaitu kitab al-Iman, kitab al-Ilmi, kitab al-Wudu, dan seterusnya.

6.    Wafatnya
    `Setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada malam sabtu tanggal 2 Dzulqa’dah 311 H/ 924 M, Ibn Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan di bekas kamarnya yang kemudian dijadikan makam. 
7.    Sosial Politik pada masa Ibnu Khuzaimah
    Ibn Khuzaimah mengalami masa hayatnya pada abad ke 3 Hijrah hingga awal abad ke 4 Hijrah (223-311 H = 838-924 M). Pada masa ini pemerintahan yang berkuasa adalah dinasti Abbasiah  angkatan pertama dan kedua yang mengalami kemunduran (833-945 M).  Dalam konteks perkembangan hadis Nabi, Ibn Khuzaimah ini hidup pada periode ke 5 dan ke 6. Periode ke 5 berkisar pada abad ke 3 H merupakan masa pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan (‘asr al-tajrid wa al-tashih) hadis, sedang periode ke 6 yang dimulai sejak abad ke 4 hingga abad ke 7 Hijrah merupakan masa pemeliharaan, penertiban dan penghimpunan (‘asr at-tahzib wa al-tartib wa al-istadrak wa al-jam’) hadis.
    Secara umum selama masa tersebut keadaan politik dan militer pemerintahan sedang mengalami kemerosotan dan kemunduran. Akan tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan. Hingga abad ke 4 Hijrah daulah Abbasiah mengalami masa keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang hadis. Hal demikian karena negara-negara bagian dari Kerajaan Islam Raya berlomba-lomba dalam memberi kedudukan terhormat terhadap para ulama dan para pujangga. 
    Sebagaimana disebutkan bahwa pada zaman ini berbagai cabang ilmu telah berkembang demikian halnya dengan Ilmu Islam juga telah tumbuh subur, seperti yang telah dilukiskan oleh ahli sejarah George Zaidan: “Pada awal sejarahnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qiroah, tafsir dan hadis; kemudian menyusul Ilmu Fiqih. Ilmu-ilmu ini bertambah subur berkembang, sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat. Telah diketahui bahwa Ilmu Fiqih berkembang pada masa Daulah Abbasiah I, dan hadis pada masa Daulah Abbasiah II. Pada pertengahan itu, lahir pula cabang-cabang ilmu Islam yang lain, mengiringi berkembangnya filsafat dan ilmu-ilmu lama lainnya.
    Menjelang kelahiran Ibn Khuzaimah, daulah Islamiyyah saat itu berada dalam kekuasaan Dinasti Abbasiah angkatan pertama, tepatnya khalifah al-Makmun (w. 218 H/ 833 M). Khalifah ini sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Beliau sangat tekun mempelajari al-Qur’an, sunah dan filsafat. Kemudian setelah al-Makmun wafat tahun 218 H=833 M, maka diganti oleh al-Mu’tashim, khalifah ke-8, hingga beliau wafat tahun 227 H=842 M. Pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tasim (218-227 H=833-842 M) inilah Ibn Khuzaimah lahir, yakni pada tahun 223 H=838 M. Selama kira-kira sembilan tahun al-Mu’tasim berkuasa.
    Selanjutnya kekhalifahan terus mengalami perpindahan kekuasaan (pemimpin). Hingga sampai pada khalifah al-Mutawakkil (232-246 H=847-861 M). Berbeda dengan khalifah sebelumnya, yaitu dari al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq yang sama-sama mempunyai kebijakan sangat keras terhadap ahli hadis, karena peristiwa mihnah terjadi pada masa tersebut.  Adapun pada saat kekuasaan khalifah al-Mutawakkil, usia Ibn Khuzaimah berarti berkisar antara 10-24 tahun. Pemahaman khalifah al-Mutawakkil lebih sejalan dengan para ulama ahli hadis. Beliau sangat menaruh perhatian dan minat yang sangat tinggi terhadap sunnah atau hadis-hadis Nabi. Beliau pun sangat menghormati para ulama ahli hadis dan sering mengundang mereka ke istana. Selama pemerintahan inilah penyebaran, pencarian, dan kajian hadis mengalami perkembangan yang sangat pesat.
    Di sisi lain, konflik sosial politik yang semakin menajam sejak masa-masa sebelumnya turut memotivasi pembuatan dan penyebaran hadis-hadis palsu serta kisah-kisah yang menyesatkan umat semakin merajalela. Dalam situasi kondisi tersebut bangkitlah para ulama dan peminat hadis, termasuk Ibn Khuzaimah, untuk aktif menekuni hadis.
    Pada periode ini pun para ulama hadis menyusun kitab-kitab koleksi hadis secara sistematis. Hingga penghujung abad ke-3 Hijrah, berbagai kitab koleksi hadis baik dalam bentuk penyusunan kitab sahih, kitab sunan, maupun kitab musnad telah banyak dilakukan oleh para ulama hadis. Keadaan tersebut mempengaruhi dan memotivasi Ibn Khuzaimah untuk mencari dan mempelajari hadis. Karenanya, beliau giat melawat mencari hadis ke berbagai daerah hingga beliau menyusun kitab koleksi hadisnya, yang kemudian lebih populer disebut sahih Ibn Khuzaimah.

8.    Mengenal Sahih Ibnu Khuzaimah
    Naskah Sahih Ibnu Huzaimah ini awalnya beredar di masayarakat dengan bentuk manuskrip. Naskah kitab koleksi hadits Hadits Shahih Ibnu Khuzaimah sesungguhnya oleh penyusunnya di beri nama Mukhtasar al-Mukhtasar min al-Musnad al-Shahih ‘an al-Nabi Sallahu ‘alaihi wa Sallam. Hal ini di ketahui dari pernyataan ibnu Khuzaimah dalam kutab tersebut. Seklain itu, ulama-ulama yang sesudahnya pun banyak yang mengutip dari kitab tersebut dan meyebutnya sebagai Mukhtasar al-Mukhtasar. Diantara para ulama’ yang menyebutkan nama itu ialah Al-Khalili (w.446 H=1054 M) dalam kitabnya al-Irsyad¸al-Baihaqi (w. 458 H=1066 M) dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, dan al-Zahabi (w. 848 H=1348 M) dalam kitabnya Siyar al-A’lam al-Nubala.
    Menurut Dr.M.M. Azami , beliau tidak menemukan seorang pun ulama’ mutaqaddimin yang menamai kitab susunan Ibn Khuzaimah dengan nama al-Sahih. Penyebutan karyanya dengan nama al-Shahih bukanlah berasal darinya, akan tetapi muncul sesudahnya. Para ulama’ yang pernah menamai dengan sebutan tersebut ialah para ulama’ yang tergolong ulama’ mutaakhirin, seperti al-Munziri (w. 656 H = 1226 M), al-Dimyati (w.705 H = 1449 M), al-Suyuti (w. 911=1505 M), dan Ibn Fahd (w.?). hal ini masih berlanjut sampai sekarang.
    Kitab Shahih Ibn Khuzaimah ini, sebagaimana tercermin dari judul aslinya, merupakan ringkasan (mukhtasar) dari kitab karyanya yang besar sebelumnya yaitu al-Musnad al-Kabir dalam pembahasan kitab (bagian) al-Tauhid. Namun, bila memperhatikan bentuk atau cara penuturan Ibn Khuzaimah dalam kitab itu yang terkadang memakai kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi) yang terkadang memakai kata kerja bentuk sekarang (fi’il mudhari’), Menurut M.M. Azami, ada dua kemungkinan. Kemugkinan pertama, kitab Al-Mukhtasar merupakan ringkasan dari dari kitab al-Musnad al-Kabir, sebagaimana di sebutkan diatas, kemungkinan ke dua, kitab itu merupakan penyempurna dari kitab al-Musnad al-Kabir yang penyusunannya belum selesai, sehingga beliau merasa perlu untuk memasukkan hadits-hadits yang belum tercantum ke dalam kitab al-Musnad al-Kabir.
    Mengenai orang-orang yang meriwayatkan kitab ini dari penulisnya tidak di ketahui secara pasti, namun di ketahui bahwa kitab tersebut tersebar melalui periwayatan cucu laki-laki Ibn Khuzaimah, yaitu Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl (w. 387 H = 997 M). menurut pernyataan al-Khalili (w. 446 H = 1054 M), al-fadil-lah yang paling akhir (usianya paling muda) yang meriwayatkan kitab tersebut di Naisapur. Melalui al-Fadl ini nampaknya ada sejumlah orang yang meriwayatkan Sahih ibn Khuzaimah. Diantara mereka ialah (1) Abu Sa’id al-Kanjruzi/al-Janzruzi/Janjruz, (2) Abu Sa’ad al-Muqri, (3) Muhammad bin Muhammad bin ‘Isa al-Waraq, (4) Abu al-Muzhfir al-Qusyairi, (5) Abu al-Qasim al-Gazi, dan (6) Ismail al-Sabuni. sedangkat para periwayat manuskrip-manuskrip yang di temukan ialah (Abu Tahir Muhammad bin al-Naisaburi (w. 387 H= 997 M), (2) Abu Usman Isma’il bin Ibrahim bin ‘Abid bin ‘Amir al-Naisabur al-Sabuni (373-449 H = 983-1057 M), (3) Abu Muhammad ‘Abd al-‘Aziz bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Sulaiman al-Tamimi ad-Dimasqa al-Kanani (389-466 H = 999-1074 M), dan (4) Abu al-Hasan ‘Ali bin al-Muslim al-Sulmi (452-533 H = 1060-1138 M).
9.    Metode dan sistematika Shahih ibnu Khuzaimah serta kuantitas Hadits.
    Menurut hasil telaah M.M. Azami, penyusunan kitab ini dilakukan dengan cara atau methode Imla’, yakni dengan cara Ibn Khuzaimah mendiktekan haditshadits kepada murid-muridnya. Hal ini sangat jelas dengan banyaknya pengulangan kata-katanya: ‘Aku telah mengimlakan….”(قد امليت) , yang terdapat dalam kitab shaih ibnu Khuzaimah yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.
Sedangkan dari sistematika penyusunannya, naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah yang dikaji ini seluruhnya terdiri dari 4 juz/jilid. Dari keseluruhan jilid tersebut di bagi menjadi tujuh (7) kitab (dalam arti bagian dari buku). Ketujuh kitab di maksud secara berurutan ialah sebagai berikut: kitab al-wudhu', kitab al-salah, kitab al-imamah fi al-salah, kitab al-jum'ah, kitab al-siyam, kitab al-zakah, kitab al-manasik.
    Tiap-tiap kitab di bagi atau di klasifikasikan menjadi beberapa bab dengan jumlah yang berbeda-beda untuk tiap-tiap kitabnya berkisar antara 100-500 an bab. Untuk empat kitab-kitab paruh pertamanya yaitu (1) kitab Al-wudu’, (2) kitab al-salah, (3) kitab al-imamah fi al-salah, (4) kitab al-jum’ah, setiap bab-nya di beri nomor urut dari mulai awal sampai akhir satu kitab tertentu. Dengan kata lain, pemberian nomor bab di mulai dari awal kembali yaitu nomor 1 (satu) jika kitab-nya berganti. Sedangkan pada ketiga kitab berikutnya yaitu kitab al-siyam (5) kitab al-zakah, (6) kitab al-manasik, (7) penomoran bab-nya di gabungkan mulai bab ke-1 s.d. 887.
    Perlu di ketahui bahwa dalam setiap bab memuat hadits-hadits Nabi (sanad dan matannya secara lengkap), dalam jumlah yang berbeda-beda untuk setiap bab-nya, kendatipun ada sejumlah kecil bab yang sama sekali tidak memuat satu buah hadits pun. Setiap bab di beri nama dan nomor. Penomoran hadits di berikan secara urut dari awal juz 1 sampai akhir juz IV kitab Shahih Ibnu Khuzaimah. Dengan melihat nomor urut terakhir hadits, maka jumlah keseluruhan hadits dalam karya ibnu Khuzaimah dapat segera di ketahui yaitu sebanyak 3.079 buah. Jumlah tersebut termasuk yang di ulang-ulang. Namun, nampaknya pengulangan hadits-hadits dalam kitab ini sekalipun ada jumlah yang relatif sedikit.
Untuk mengetahui sistematika Sahih Ibn Khuzaimah secara rinci, dan mengetahui nama-nama kitab, kuantitas jumma’u abwab serta kuantitas hadits-hadits di dalamnya, berikut ini di sajikan dalam bentuk tabel.  Sebagai berikut:
Juz    No kitab    Nama kitab    Jumlah Kelompok bab    No bab    No urut hadis    Jumlah hadis
1    1    Al-wudhu'    12    1225    1-300    300
    2    Al-salat    2    1263    301-786    486
            23    264-703    787-1469    683
II    3    Al-Imamah    -    1-27    1470-1504    35
            2    28-202    1505-1879    315
III    4    Al-jum'ah    6    1-128    1820-1878    59
        Al-siyam    11    1-271    1879-2243    365
IV    6    Al- Zakat    8    272-455    2244-2503    260
    7    Al-Manasik     1    456-887        2504-3076
        Jumlah    65    2150        3079
    Memperhatiakan nama-nama kitab dalam tabel diatas, dan lebih rinci lagi dengan mencermati sistematikanya; nama-nama bab, jumma’u abwab atau semua hadis yang ada dalam kitab sahih Ibn Khuzaimah, di ketahui bahwa hampir seluruh haditsnya hannya berkaitan dengan masalah-masalah hukum atau fiqih.  Karenanya dapat dikatakan bahwa kitab sahih Ibnu Khuzimah merupakan kitab koleksi khusus hadis-hadis hukum. Hal ini dapat di maklumi karena pada saat kitab ini diskursus hukum atau fiqih islam sedang menjadi model atau trend yang dominan. Selain itu nampaknya diantara kehadiran kitab ini pun ialah untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan masyarakat pada zamannya. Adapun koleksi hadis-hadis “non fiqih/hukum islam“ yang di himpun oleh ibnu Khuzaimah nampaknya di buat secara terpisah dari kitab koleksinya ini, misalnya dalam kitab at-Tauhid yang merupakan “induk” dari kitab koleksi ini.
10.    Penilaian terhadap Shahih Ibn Khuzaimah dan Hadits-haditsnya.
    Terdapat sejumlah ulama’ yang memberikan komentar terhadap kitab Sahih Ibn Khuzaimah, yang diantaranya:
a.    Ibnu Hibban (w. 354 H = 965 M) berkata: “Aku tidak menjumpai seorang pun di muka bumi ini yang sangat bagus menyusun kitabnya selain Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaimah) karena lafal-lafal haditsnya terpelihara, keshahihan dan tambahan-tambahan haditsnya, sehingga seolah-olah semua hadits ada di sana.
b.    Al-Khatib al-Bagdadi (w.463 H = 1072 M) dan Ibn Salah (w.643 H = 1245 M) keduanya memberikan komentar yang hampir senada dengan menyatakan bahwa Sahih Ibn Khuzaimah telah memenuhi kriteria sebagai kitab koleksi hadits sahih. Lebih lanjut Ibn Salah menyatakan bahwa kitab itu sangat bermanfaat bagi para pencari hadits guna melengkapi Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.
c.    Ibnu Kasir (w. 911 H = 1505 M) memberikan komentar bahwa Sahih Ibnu Khuzaimah dan Musnad Ibn Hiban keduanya lebih baik dari pada al-Mustadrak karya alHakim, mengingat sanad-sanad dan matan-matan haditsnya di tempatkan secara tepat. Namun, Ibn Kasir pun mengakui bahwa di dalam kedua kitab tersebut terdapat hadits-hadits daifnya.
d.    Al-Iraqi (w. 806 H = 1404 M) menyatakan bahwa hadits-hadits sahih pun dapat di peroleh dalam karya-karya yang khusus memuat hadits-hadits sahih, seperti Sahih Abu Bakar Muhammad bin Ishaq Ibn Khuzaimah.
e.    As-Suyuti (w.911 H = 1505 M) memberikan komentar bahwa Sahih Ibn Khuzaimah tingkatnya lebih lebih tinggi dari pada Sahih Ibn Hibban karena lebih selektif, beliau berhenti pada pada hadits sahih dan sedikit membicarakan isnad.
f.    Ahmad Syakir , salah seoarng pakar hadits abad ke 20 yang berasal dari Mesir ayah ahmad Muhammad Syakir (w. 1958 M), menyatakan bahwa Sahih Ibn Khuzaimah, Musnad as-Sahih ‘ala at-Taqasim wa al-Anwa’ karya Ibnu Hibban, dan al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain karya al-Hakim, ketiganya merupakan kitab yang sangat penting setelah Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena memuat hadits Sahih.

    Terlepas dari berbagai penilaian atau komentar para ulama’ yang cenderung lebih melihat keunggulannya, sebagaimana yang di sebutkan di atas, dalam kitab Sahih Ibn Khuzaimah ini kualitas hadits-haditsnya tidak semuanya sahih, tetapi ada juga yang kualitas hasan bahkan terdapat pula hadits-hadits daif, Hanya saja hadits-hadits yang sangat daif hampir tidak di temukandalam kitab ini sebagaimana dinyakatan oleh M.M. Azami dan anotasi-anotasi yang di berikannya.
    Jadi, pemberian judul atau label sahih terhadap karya ini sesungguhnya tidak mencerminkan kualitas seluruh hadits yang di kandungnya. Bahkan, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa kualitas hadits-hadits yang di kandungnya cukup banyak yang tidak sahih, barangkali lebih tepat jika kitab koleksi hadits ini di kategorikan sebagai kitab sunan.   
    Prof. Dr. M.M. Azami, editor kitab Shahih Ibn Khuzaimah, memberi catatan bahwa sanad hadis di atas adalah Dhaif, karena salah seorang rawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud’an dikenal dhaif (lemah hafalannya). Menurut kritikus hadis Yahya bin Ma’in, Ali bin Zaid bin Jud’an adalah laisa bi hujjah (tidak dapat dijadikan hujjah), menurut Imam Abu Zur’ah Ali bin Zaid bin Jud’an adalah laisa bi Qawiy (tidak kuat), dan begitu pula menurut ulama yang lain .

















DAFTAR PUSTAKA

Arifn, Zainul. Studi Kitab Hadis, Surabaya: Al-Muna, 2010, Cet II.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam: Bagian kesatu dan kedua, Terj. Mas’udi, Ghufron A. cet.II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, cet pertama, 1975
Soetari, Endang. Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, cet. II.
Azami, Muhammad Musthofa, Sahih Ibn Khuzaimah, juz I, (beirut : al-Muktab Al-Islami, 1412 H/ 1992 M.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar